Selasa, 31 Maret 2009

Dunia Politik Yang Terbalik dan Sejarahnya

Awal kehidupan manusia dimulai dengan tidak adanya aturan. Semua terjadi secara alami (natural) atau bisa disebut natural society. Mereka mendapatkan makanan yang sudah disediakan oleh alam. Mereka menikah dan berkeluarga karena memang adanya kebutuhan biologis dan seksual yang diperlukan.
Seiring berjalannya waktu, ketika jumlah manusia semakin bertambah, mulailah muncul aturan/kesepakatan di antara mereka agar tidak muncul perselisihan atau pelanggaran hak terhadap yang lainnya.
Mulailah muncul kesepakatan-kesepakatan yang diantaranya adalah tentang pernikahan. Misalnya si A mendapat istri si B, dan si C mendapat istri si D. Si E mendapat istri si G. Dan seterusnya.
Aturan dan kesepakatan itu tidak sepenuhnya mulus, karena sudah sifat manusia yang selalu ada sisi baik dan sisi buruk. Sehingga mulailah terjadi pelanggaran terhadap aturan, misalnya si A merebut istrinya si C, atau si A dan si C berselingkuh, sehingga terjadilah perselisihan, perebutan, pertengkaran dan bahkan pembunuhan.
Dalam setiap konflik, selalu dimenangkan oleh orang yang kuat. Yang kuat kemudian memiliki kekuasaan untuk menindas yang lemah. Sekalipun ada juga orang kuat yang baik hati, bukannya menindas tetapi malah melindungi yang lemah.
Jumlah manusia yang semakin banyak membuat munculnya banyak pelanggran terhadap aturan dan kesepakatan-kesepakatan. Yang kuat tidak lagi ditentukan kekuatan fisik mereka, tetapi mereka yang mampu bersekutu, bekerjasama dan berkelompok sehingga memiliki kekuatan yang semakin besar.
Untuk menjaga kelompok atau grup mereka ini, mulailah muncul kesadaran tentang perlunya pemimpin yang bisa menjaga kesepatakan mereka sendiri dan persatuan.
Pemimpin biasanya adalah orang yang dihormati, atau orang yang paling kuat di antara mereka. Yang sebagian berfungsi untuk mengatur atau menengahi konflik agar kehidupan mereka bisa bertambah baik. Atau agar kelompok mereka tidak dikuasai oelh kelompok lain.

Dan sudah menjadi bagian dari sifat manusia akan adanya kesrakahan sehingga ada ketua suku yang baik, tetapi ada juga yang justru menindas. Kemudian mulailah muncul perpecahan, dan lahirlah suku-suku dengan setiap suku dipimpin oleh ketua suku.

Ketika jumlah manusia semakin banyak, dan mulai banyak suku-suku, mulailah suku-suku tersebut berpindah-pindah tempat dan menyebar ke pelosok bumi yang lain.

Bibit konflik yang sebelumnya memang sudah ada tidak menyebabkan mereka berjenti untuk berselisih, entah karena makanan, wanita atau kekuasaan. Karena sudah hukum alam mengenai tabiat manusia, selalu ada orang yang ingin jadi kepala suku, atau ada sebuah suku yang ingin menguasai suku-suku lain. Ada kelompok atau suku yang kemudian ingin menguasai (menjajah) suku lain.

Penyebabnya bermacam-macam, misalnya karena suku A ternyata kehidupannya lebih makmur dibanding dengan suku B sehingga muncul rasa iri. Atau sebab-sebab lain.

Konflik antar suku menyebabkan munculnya suku yang kalah dan suku yang menang. Suku yang kalah biasanya menjadi budak atau bekerja pada suku yang menang. Lalu muncullah suku yang sangat kuat dan mampu menguasai beberapa suku yang lain.

Beberapa orang “cerdas” atau pemimpin yang “baik” di antara mereka kemudian perlu untuk membuat konsensus baru tentang perlunya wadah yang lebih besar, sehingga lahirlah kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja atau Kaisar atau nama yang lainnya.

Berbeda dengan suku, kerajaan sudah memiliki raja yang membawahi menteri-menteri dan pasukan. Suku-suku dan ketua sukunya kemudian menjadi bawahan dari raja yang diharuskan membayar upeti atau pajak untuk mengelola kerajaan.

Tentu saja, kerajaan ini mula-mula mendapat banyak tentangan dari suku yang tidak setuju. Namun, tuntuntan akan perubahan karena semakin banyaknya jumlah manusia, membuat kerajaan ini menjadi eksis.

Mula-mula sistem kerajaan berjalan baik dan akhirnya diterima oleh anggota rakyat lainnya. Dan sistem yang lebih besar ini, dianggap bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya akan rasa adil, aman dan tenteram. Sehingga muncullah kerajaan-kerajaan.

Dan tentu saja, seiring berjalannya waktu, di mana karena para raja itu memiliki kekuasaan yang lebih besar dan bahkan membawahi sebuah pasukan perang. Mulai muncul penyelewengan atas kewenangannya sebagai Raja. Raja yang semula diharapkan membawa rasa adil, aman dan tenteram, justru malah mulai lupa diri dan menindas atau mengskploitasi rakyatnya sendiri.

Muncullah penderitaan-penderitaan rakyat yang bahkan mungkin lebih ganas dan lebih sistematis, dibanding dengan kehidupan model kesukuan. Karena bahkan rakyat biasa harus terbiasa menyembah rajanya, atau hubungannya yang jauh dengan rajanya.
Raja atau kaisar bukan lagi menjadi seorang pemimpin, namun mereka sudah menjuluki manusia setengah dewa. Rakyat diwajibkan untuk menyembahnya karena dianggap sebagai wakil dewa atau wakil Tuhan.
Muncullah pemberontakan-pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan, entah karena rajanya tidak adil, atau karena memang ada orang yang bernafsu menjadi raja.
Juga muncullah saling perang antar kerajaan karena keinginan untuk menguasai dan menjajah negara lain. Dan tentu ada beberapa kerajaan yang bisa hidup secara damai dan berdampingan.

Lalu muncullah “kesadaran” baru dari para orang cerdik dan pandai, tentang perlunya kontrol terhadap raja. Sehingga raja tidak bisa berbuat sewenang-wenang.
Pada masa ini, muncullah agama yang berdampingan dengan kekuasaan. Di mana para pemimpin agama memiliki hak untuk ikut mengontrol raja dan kerajaan.
Semula berjalan baik, namun lambat laun, mulailah muncul kongkalikong (kolusi) antara raja dengan para pemimpin agama.
Lembaga-lembaga agama menjadi stempel keputusan raja, terlepas dari apakah keputusan raja itu baik atau buruk untuk rakyatnya. Sehingga munculnya penindasan dan eksploitasi baru yang disebabkan oleh kolusi antara raja dan pemimpin agama. Dan tentu saja, lahirlah pemberontakan-pemberontakan dan penggulingan kekuasaan dengan pola atau model baru. Penderitaan rakyat tentu menjadi lebih hebat dan terjadi karena masalah struktural.

Integrasi antara Sistem kekuasaan (politik) dan agama menjadi perdebatan, karena tidak mampu memakmurkan rakyatnya, bahkan malah membuat kerajaan-kerajaan menjadi semakin kacau.

Lalu, muncullah wacana demokrasi, di mana raja perlu dikontrol oleh orang-orang yang dipilih langsung oleh rakyatnya. Di mana rakyatnya kemudian memilih apa yang dinamakan wakil rakyat. Ada lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) atau seorang Presiden, dan ada lembaga legislates yang berfungsi untuk mengontrol eksekutif.

Sekarang ini, raja-raja atau system kerajaan sudah mulai berkurang atau hampir punah. Kalaupun masih ada ada yang menganut system kerajaan, umumnya Raja sudah tidak memiliki kekuasaan penuh. Dan seringkali hanya menjadi symbol. Kecuali sedikit Negara seperti Negara Arab Saudi, di mana rajanya masih memiliki kendali penuh atas kerajaan karena berkoalisi atau berkolaborasi dengan pemimpin agama.

Terus apakah system sekarang ini menjadi lebih baik dan mampu memakmurkan rakyat???

Fakta-fakta menunjukkan munculnya kolusi baru antara eksekutif dan legislatif. Juga, lembaga-lembaga tinggi negara secara lambat laun menjadi saling berkolusi (bukannya saling mengontrol) untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan menghianati kepercayaan rakyat.
Sekalipun mereka hidup dari uang yang diambil dari pajak rakyat, namun mereka mampu hidup bermewah-mewahan di atas kesengsaraan dan kemiskinan rakyat. Atau, bahkan bersama-sama kongkalikong untuk menindas rakyatnya.

Partai Politik?

Setali tiga uang....

Awal mula berdirinya partai politik adalah karena adanya perbedaan politik diantara rakyat baik secara individu maupun berkelompok. Sehingga muncullah beberapa partai politik untuk memperjuangkan masing-masing aspirasi rakyat yang berbeda.

Jadi, tujuan dasar dari berdirinya partai politik adalah alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Namun, yang terjadi sekarang, tujuan dasar berdirinya parpol sudah menjadi terbalik. Di mana parpol adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Sekalipun dalam visi dan misi yang tertulis dalam buku-buku pedoman organisasinya, namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

So, mungkinkah ada sistem yang lebih baru lagi untuk menggantikan sistem demokrasi yang penuh kemunafikan ini?

Atau,

Adakah cara/sistem untuk mengendalikan nafsu keserakahan dan kebinatangan para penguasa (“pemimpin) terhadap tahta, harta dan wanita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar